SENAUNG,–Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak, Idul Adha hadir bukan sekadar sebagai momen ibadah ritual, tetapi sebagai jeda spiritual—sebuah ajakan sunyi untuk kembali merefleksikan makna pengorbanan, ketulusan, dan keikhlasan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap tanggal 10 Dzulhijjah, gema takbir membelah langit pagi, menyusup ke relung hati umat Islam di seluruh dunia. Namun lebih dari sekadar perayaan, Idul Adha menyimpan kisah abadi tentang keimanan Nabi Ibrahim dan ketundukan Nabi Ismail, dua manusia yang menggambarkan keberanian mencintai Tuhan melebihi segalanya. Pengorbanan itu bukan sekadar menyembelih hewan, melainkan memotong ego, ambisi, dan ketakutan yang membelenggu.
Dalam kehidupan kita yang serba cepat dan kompetitif, makna pengorbanan sering kali terlupakan. Kita terbiasa memberi hanya ketika berlebih, membantu hanya ketika sempat, dan mencintai dengan syarat. Idul Adha mengingatkan kita bahwa cinta sejati justru lahir dari keikhlasan memberi—bahkan ketika harus kehilangan.
Pengorbanan hari ini bisa bermakna sederhana: meluangkan waktu untuk keluarga, menahan emosi di tengah konflik, atau membantu sesama tanpa pamrih. Dalam sunyi hati yang tulus, di sanalah letak keagungan sejati dari ibadah kurban.
Di balik aroma daging kurban dan tawa keluarga yang berkumpul, ada pelajaran mendalam tentang empati dan solidaritas sosial. Hewan yang dikurbankan bukanlah sekadar simbol, tapi jembatan yang menghubungkan kita dengan mereka yang tak mampu, yang sering luput dari pandangan.
Idul Adha adalah pengingat abadi bahwa hidup bukan tentang memiliki, tapi tentang memberi. Bukan tentang mengambil, tapi tentang rela melepaskan. Dan di balik semua itu, ada ketenangan jiwa yang tak ternilai—karena sejatinya, setiap pengorbanan yang dilandasi cinta, akan selalu kembali dalam bentuk keberkahan.
Selamat Idul Adha. Mari kita sembelih kesombongan, iri hati, dan ego—agar ruang hati kembali lapang untuk kasih sayang dan kemanusiaan.(Msy)
