RENUNGAN,–Di ruang guru sebuah sekolah menengah, suara bel berdenting menandai akhir pelajaran. Para guru berkumpul, tak hanya untuk menyeruput kopi dan mengisi absen, tapi juga untuk membicarakan dilema yang semakin sering mencuat: apakah tujuan pendidikan hari ini masih untuk membentuk manusia utuh, atau sekadar mencetak angka-angka cantik di raport?
Sebagai seorang pendidik, tak jarang kami terjebak dalam situasi yang menggelisahkan. Anak yang sopan, jujur, dan peduli sesama justru kadang mendapat nilai akademik biasa-biasa saja. Sebaliknya, siswa yang acuh tak acuh, cenderung mencontek, atau bahkan membully teman bisa duduk manis di ranking atas—berbekal nilai matematika dan IPA yang mencolok.
Apakah pendidikan karakter masih punya tempat? Atau telah tersisih oleh obsesi pada peringkat, ranking paralel, dan pujian dari orang tua yang menganggap raport adalah cermin masa depan anak?
Dalam banyak rapat kurikulum, para guru mendiskusikan betapa pentingnya profil pelajar Pancasila—cerdas, beriman, gotong royong, mandiri. Tapi saat rapor tiba, yang dipertanyakan orang tua dan kepala sekolah tetap saja: “Berapa nilai UN-nya? Masuk universitas mana?”
Pendidikan karakter seolah menjadi hiasan formal di dokumen kurikulum, bukan inti dari proses belajar. Padahal, di dunia nyata, karakterlah yang menjaga integritas manusia saat ijazah tak lagi ditanya. Dunia kerja membutuhkan kejujuran, tanggung jawab, kolaborasi—bukan sekadar kemampuan menghafal rumus.
Lalu siapa yang salah? Kurikulum? Sekolah? Orang tua? Atau sistem yang terlalu lama menganggap angka di raport lebih penting dari watak di dunia nyata?
Kami para guru sering merasa seperti penjaga nilai-nilai yang tak laku dijual. Mendorong siswa berani berkata jujur, tapi harus menuliskan angka tinggi agar sekolah dianggap berhasil. Memberi sanksi pada siswa yang mencontek, tapi kemudian ditegur karena nilainya anjlok dan bisa menurunkan citra sekolah.
Inilah dilema paling pelik dalam dunia pendidikan hari ini: membentuk karakter atau memoles nilai?
Mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah kita sedang mendidik manusia, atau sekadar mencetak angka? Karena anak-anak yang kita bentuk hari ini, adalah cermin masyarakat yang kita miliki esok hari.(Msy)