MUARO JAMBI — Pemberantasan korupsi di Indonesia menghadapi tantangan baru: praktik rasuah yang semakin merambah ke tingkat desa. Dana desa yang semestinya menjadi instrumen untuk membangun dan memberdayakan masyarakat di akar rumput, justru berubah menjadi lahan bancakan sejumlah oknum tak bertanggung jawab.
Salah satu contoh yang mengkhawatirkan terjadi di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Baru-baru ini, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan menetapkan dua kepala desa aktif sebagai tersangka. Mereka adalah:
1. N, Ketua Forum APDESI Pagar Gunung sekaligus Kepala Desa Padang Pagun,
2. JS, Bendahara Forum APDESI dan Kepala Desa Muara Dua.
Kedua tersangka terbukti melakukan pemerasan sistematis terhadap para kepala desa lainnya. Modusnya: meminta setoran rutin dengan dalih “iuran tahunan” untuk organisasi. Yang lebih mencengangkan, dana tersebut disebut-sebut akan disetorkan kepada oknum aparat penegak hukum (APH) tertentu, demi keamanan atau perlindungan hukum.
Praktik seperti ini bukan hanya mencederai kepercayaan masyarakat, tetapi juga menandakan adanya indikasi kartel korupsi yang terstruktur dan berjejaring di tingkat lokal. Kepala desa yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat malah berubah menjadi pelaku atau korban dalam sistem yang koruptif. Dan organisasi seperti APDESI lokal, yang seharusnya menjadi wadah aspirasi dan penguatan kapasitas, justru berubah menjadi alat pemerasan.
Kasus di Lahat membuka tabir bobroknya tata kelola dana desa jika tidak diawasi dengan ketat. Ini bukan hanya soal penyalahgunaan anggaran, tapi juga soal bagaimana budaya feodal dan takut pada “atasan” terus dipelihara melalui uang tutup mulut dan iuran gelap.
Media memiliki peran penting untuk tidak sekadar memberitakan, tapi juga mengungkap pola-pola seperti ini secara mendalam. Liputan investigasi dan sorotan publik adalah senjata ampuh untuk membongkar praktek korupsi yang rapi dan tersembunyi di desa-desa.
Pemerintah, kejaksaan, dan lembaga pengawas wajib bertindak cepat dan tegas. Perlu pembenahan menyeluruh terhadap organisasi desa dan transparansi pengelolaan dana. Masyarakat desa juga perlu diedukasi agar berani melapor jika menemukan kejanggalan, dan tak lagi takut oleh bayang-bayang “oknum yang dilindungi.”
Jangan biarkan dana desa, yang merupakan hak rakyat, terus dirampas oleh para penyamun berkedok pemimpin. Bila rasuah sudah bersarang di desa, maka sesungguhnya yang dirampok adalah masa depan bangsa ini dari akarnya.