JAMBI — Dalam perang panjang dan melelahkan melawan sindikat narkoba, media bukan sekadar penonton atau pengamat pasif. Mereka adalah pelaku aktif yang menempuh jalan terjal demi membongkar kebenaran yang tersembunyi di balik bayang-bayang kekuasaan, uang, dan teror. Di tengah kuatnya jaringan kejahatan narkotika yang merasuk ke berbagai lini kehidupan — dari jalanan kumuh hingga ruang kekuasaan — jurnalis menjadi cahaya kecil yang berusaha menembus gelapnya kebusukan sistem.
Jurnalisme investigatif menjadi senjata utama dalam perlawanan ini. Wartawan menggali, menelusuri, dan mengungkap jejak-jejak sindikat yang sering kali terhubung dengan kekuatan besar: aparat yang korup, tokoh berpengaruh, hingga perusahaan pencuci uang. Namun di balik setiap liputan, ada bahaya yang mengintai. Ancaman bukan lagi sebatas tekanan psikologis atau tuntutan hukum—tetapi nyata dalam bentuk teror, penguntitan, penculikan, bahkan pembunuhan.
Tidak sedikit jurnalis yang dibungkam hanya karena menyuarakan kebenaran. Di beberapa kasus, mereka menerima surat kaleng, diikuti oleh orang tak dikenal, atau digertak secara langsung oleh oknum-oknum yang merasa terancam. Beberapa harus berpindah tempat tinggal, hidup dalam bayang-bayang, dan menyembunyikan identitas demi keselamatan diri dan keluarga.
Dalam konteks ini, kerja jurnalistik berubah dari sekadar profesi menjadi pertaruhan nyawa. Integritas diuji. Profesionalisme bukan lagi hanya soal etika peliputan, tetapi juga tentang keberanian moral untuk terus berdiri di garis depan meski ancaman terus datang. Para jurnalis ini sadar bahwa berita yang mereka tulis bisa menjadi vonis mati bagi mereka sendiri. Namun mereka juga tahu: diam berarti membiarkan sindikat tumbuh subur, menyebar racun ke generasi muda, dan melumpuhkan masa depan bangsa.
Media massa pun memikul tanggung jawab besar—bukan hanya untuk menyebarkan fakta, tetapi juga melindungi jurnalisnya. Dukungan redaksi, jaringan solidaritas, dan kebijakan internal menjadi benteng awal. Namun semua itu tak cukup tanpa perlindungan dari negara. Maka diperlukan regulasi yang berpihak pada kebebasan pers, penegakan hukum yang tegas terhadap ancaman terhadap jurnalis, serta kesadaran publik untuk tidak membiarkan jurnalis berjuang sendiri.
Media adalah pilar demokrasi. Ketika mereka dibungkam oleh ketakutan, maka yang tumbuh adalah kejahatan yang tak tersentuh. Dalam perlawanan terhadap narkoba, suara media adalah nyala api terakhir yang menjaga kita dari kegelapan. Mereka bukan hanya penyampai kabar, tapi juga pejuang tak bersenjata yang memilih pena ketimbang peluru, meski tahu bahwa peluru bisa saja datang lebih dulu.(Msy)